Wajah Baru Gen Z Generasi Emas – Bagi Gen Z, politik bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga sarana untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Mereka menuntut transparansi dalam tata kelola publik agar mereka dapat memantau semua kebijakan secara kolektif, sekaligus menolak praktik politik usang yang mereka anggap sarat korupsi dan kepentingan elitis. Menyadari bahwa masa depan mereka terancam oleh krisis iklim dan degradasi lingkungan yang terus berlanjut, mereka juga sangat berkomitmen terhadap isu-isu lingkungan. Lebih lanjut, partisipasi politik yang kreatif melalui ruang digital telah menjadi ciri utama Gen Z.
Media sosial dan komunitas virtual tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai platform untuk menghasilkan ide, mengorganisir gerakan, dan mengkritik kebijakan. Pendekatan ini dianggap lebih inklusif, memungkinkan partisipasi berbagai kelompok, terutama mereka yang terpinggirkan dalam proses politik formal. Namun, tantangannya tidaklah kecil. Hambatan masih ada, termasuk resistensi dari aktor politik tradisional yang enggan terhadap perubahan, akses digital yang tidak merata di berbagai wilayah, dan derasnya arus disinformasi yang seringkali menyesatkan opini publik.
Namun demikian, antusiasme Gen Z untuk terus memperjuangkan demokrasi yang lebih sehat menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar menginginkan perubahan, melainkan siap menjadi bagian dari solusi. Manifesto politik Gen Z bukan sekadar dokumen simbolis; Manifesto ini mencerminkan keinginan generasi ini agar demokrasi Indonesia bergerak lebih cepat menuju transparansi, keberlanjutan, dan partisipasi sejati. Hal ini merepresentasikan visi politik baru yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan zaman dan memulihkan kepercayaan publik terhadap demokrasi. Gen Z memiliki karakteristik politik yang membedakan mereka dari generasi sebelumnya.
Peluang Masa Depan Politik Dari Gen Z
Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu-isu global, peduli terhadap isu lingkungan, dan aktif menyuarakan pendapat melalui media sosial. Bagi Gen Z, politik bukan sekadar perebutan kekuasaan; politik juga tentang partisipasi yang adil. Kebebasan berekspresi, dan menyediakan platform bagi perubahan nyata dalam diri para pemimpin negara. Gen Z kembali menggebrak dunia politik, bukan melalui partai politik, melainkan melalui demonstrasi jalanan, media sosial, dan tuntutan publik. Kali ini, manifesto politik mereka menyoroti isu-isu nyata seperti kenaikan biaya hidup. Upah rendah, korupsi, dan kebijakan DPR yang dianggap tidak menyentuh rakyat.
Gelombang protes mahasiswa yang dimulai Agustus lalu telah berkembang menjadi Tuntutan Nasional 17+8. Proposal tersebut mencakup tuntutan jangka pendek dan jangka panjang, seperti penghapusan tunjangan anggota DPR, perbaikan sistem pencalonan presiden, dan memastikan keterwakilan kaum muda dan perempuan dalam pemerintahan. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet Indonesia diperkirakan mencapai 77% pada tahun 2024. Namun, angka ini tampaknya tidak mencerminkan literasi pengguna. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa lebih dari 60% pengguna internet. Berusia 45 hingga 64 tahun tidak dapat membedakan situs resmi dari situs palsu.
Mereka juga menjadi korban penipuan daring, hoaks politik, dan pelanggaran privasi. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), lebih dari 40% korban investasi bodong sepanjang tahun 2023 berusia di atas 40 tahun, banyak di antaranya adalah ibu-ibu yang tergabung dalam grup Facebook atau pedagang pasar yang diiming-imingi keuntungan besar dari aplikasi ilegal. Masalahnya, literasi digital masih dianggap sebagai isu anak muda. Program pendidikan utamanya ditujukan bagi pelajar dan mahasiswa. Namun, pegawai negeri sipil, pengajar, petani, pedagang, bahkan tokoh agama, yang sering disebut-sebut oleh masyarakat umum, masih kurang literasi teknologi.
Kreativitas Gen Z Dari Bidang Penguasaan
Akibatnya, ketika diminta mengisi formulir daring, mengunggah dokumen ke portal resmi, atau mengelola data warga, kesalahan teknis dapat menjadi bom waktu, mulai dari kebocoran data pribadi hingga penyalahgunaan informasi. Negara-negara lain membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Di Jepang, program Kakek-Nenek Digital menggunakan metode pelatihan peer-to-peer. Untuk melatih para lansia tentang penggunaan ponsel pintar, tata kelola elektronik, dan deteksi penipuan daring.
Wajah Baru Gen Z Generasi Emas. Hasilnya, kejahatan siber yang menyasar lansia telah menurun drastis. Di India, kampanye Saksharta Abhiyan Digital telah melatih jutaan pedagang pasar tradisional tentang QRIS, dompet digital, dan platform pendidikan daring. Di Finlandia, literasi media telah diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional di semua tingkatan, termasuk pelatihan untuk orang tua dan pengajar. Mereka mendukung transisi menuju energi bersih, penghentian deforestasi, dan pengurangan emisi karbon yang signifikan.